Diskusi Publik "Negara dan Agama"
Akhir-akhir ini tidak sedikit masyarakat Indonesia yang terjebak dalam dikotomi antara agama dan negara. Hal ini setidaknya ditandai oleh dua hal: adanya sekelompok orang, meskipun dengan kuantitas kecil, yang menghendaki dan mengupayakan agar negara didasarkan pada agama dan semakin menguatnya politik identitas (agama) terutama pada saat kontestasi politik. Situasi ini, jika tidak disikapi secara bijak, dikhawatirkan akan menimbulkan persoalan di masyarakat sekaligus menggerus dasar kebangsaan dan kenegaraan.
Sebagai bagian dari ikhtiar untuk menjaga kerukunan masyarakat sekaligus mendudukkan persoalan negara dan agama, Fakultas Hukum Universitas Jambi melalui Undang: Jurnal Hukum menggelar diskusi publik bertemakan “Negara dan Agama”. Kegiatan berlangsung di ruang Prof. Fuad Bafhadal, Rabu 14 November 2018, dibuka oleh Dekan, Dr. Helmi, S.H., M.H. Hadir sebagai narasumber membahas persoalan tersebut adalah Prof. Drs. Ratno Lukito, M.A., DCL (Guru Besar Ilmu Hukum UIN Sunan Kalijaga) dan Prof. Dr. Bahder Johan Nasution, S.H., M.Hum (Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Jambi). Keduanya merupakan bagian dari Mitra Bebestari Undang: Jurnal Hukum. Diskusi dipandu oleh Ketua Penyunting Undang: Jurnal Hukum, M. Zulfa Aulia.
Dalam pengantar diskusi, M. Zulfa Aulia yang juga merupakan pengajar matakuliah Pancasila di Universitas Jambi menguraikan, persoalan negara dan agama di Indonesia sesungguhnya persoalan klasik namun berlangsung awet dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Sejak kemerdekaan Indonesia dipersiapkan, perdebatan paling serius di antara panitia yang mempersiapkan kemerdekaan, yaitu BPUPK, Panitia Sembilan, dan PPKI, ialah persoalan negara ini mau didasarkan pada agama tertentu (Islam) atau bukan. Pada akhirnya, menjelang disahkannya dasar negara yang dituangkan dalam Konstitusi UUD 1945, disepakati oleh pendiri bangsa bahwa Indonesia tidak didasarkan pada agama tertentu melainkan Pancasila, yang di situ mengakomodasi agama-agama yang pada saat itu berkembang di nusantara. Meski dari sudut pandang konstitusi sudah final, perdebatan mengenainya masih kerap berulang dalam masa kemerdekaan. Dan yang paling mutakhir ialah munculnya kelompok-kelompok yang memerjuangkan ide khilafah yang melintasi batas teritorial negara. Gerakan yang disebut terakhir ini, oleh pemerintah belakangan ini dinyatakan sebagai gerakan terlarang.
Prof. Ratno Lukito dalam paparannya menyampaikan hubungan antara agama dan negara dari teori-teori yang berkembang saat ini. Dengan merujuk Ran Hirshl, Prof. Ratno membahas satu persatu dari delapan teori hubungan agama dan negara, yaitu the atheist state; assertive secularism; separation as state neutrality toward religion; weak religious establishment; formal separation with the facto pre-eminence of one denomination; separation alongside multicultural accomodation; religious jurisdictional enclaves; dan strong establishment. Pada intinya, dengan delapan teori tersebut, yang berasal dari pengalaman negara-negara di dunia, maka hubungan antara negara dan agama tidak lagi ekstrem kanan atau sebaliknya kiri, dalam artian sepenuhnya negara didasarkan pada agama tertentu atau justru kebalikannya menolak agama dalam bernegara. Yang sedang terjadi sesungguhnya adalah adanya kecenderungan ke arah kanan atau sebaliknya, dengan batas kanan-kirinya yang bervariasi sesuai delapan teori tersebut.
Lantas di mana posisi Indonesia? Dengan merujuk dan mengupas UUD 1945 terutama Pasal 29 sebagai arena pertentangan antara kelompok sekuleris dan agama, Prof. Ratno mengungkapkan, tidak disebutkannya agama sebagai dasar negara dalam Konstitusi sesungguhnya memiliki arti bahwa negara cenderung untuk memilih posisi tengah-tengah dalam hal hubungan agama dan negara: Indonesia bukan sebagai negara agama dan juga bukan negara sekuler (in-betweenness). Model ini mempunyai arti bahwa negara akan menerima ide ajaran agama diterima sebagai dasar dalam pembuatan hukum, namun di sisi lain juga menerima sekularisme dalam kehidupan negara, atau “a religious-but-non-theocratic state”. Akibatnya, negara dengan prinsip yang unik: the limited religious establishment and limited religious freedom. Prinsip limited religious establishment mengandung arti negara hanya mengakui enam agama: Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu. Sedangkan prinsip limited religious freedom berarti kebebasan untuk beragama, bukan kebebasan dari agama. Kebebasan beragama sendiri hanya terbatas pada enam agama saja.
Model in-betweenness (limited religious-cum-secular) ini disebut Prof. Ratno sebagai langkah yang mungkin saja terbaik untuk menghindari konflik yang tak berakhir antara kelompok agama dan sekular. Sikretisme mengalahkan pendekatan zero-sum-game yang biasanya digunakan untuk menghadapi kompetisi antara agama dan sekularisme. Namun demikian, dalam praktiknya, negara sering cenderung menggunakan pendekatan favoritism dalam masalah ini, yang justru dapat memperumit konflik ini, misalnya dalam isu religious blasphemy. Terlebih lagi, isu berkaitan dengan negara dan agama di Indonesia selalu diwarnai dengan kompetisi dominasi kekuasaan.
Pemateri kedua, Prof. Bahder Johan Nasution lebih banyak menyampaikan ajaran keagamaan yang sudah diakomodasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Akomodasi itu antara lain dalam bentuk peraturan perundang-undangan, misalnya persoalan perkawinan, waris, wakaf, zakat, dan perbankan. Tidak hanya persoalan privat, belakangan akomodasi tersebut justru sampai ke wilayah publik, semisal keharusan bisa baca tulis kitab suci (Al-Qur’an) dalam memasuki sekolah lanjutan dan menjadi pejabat publik di daerah tertentu. Bahkan, sistem dan lembaga peradilan yang menyelesaikan persoalan hukum juga dibuatkan tersendiri, yaitu peradilan agama. Ironisnya, kata Prof. Bahder, banyak warga terutama umat muslim, yang masih menganggap bahwa Islam tidak diakomodasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Padahal fakta-fakta tersebut justru menunjukkan kebalikannya.
Diskusi ini berlangsung meriah, dan sesekali diiringi tawa hadirin merespons gurauan narasumber. Hadir sebagai peserta 85 orang, yang terdiri dari dosen dan mahasiswa Fakultas Hukum, serta dosen dari Fakultas Ilmu Budaya, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, dan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan di Universitas Jambi.
Unduh bahan diskusi: Ratno Lukito, Agama dan Negara di Indonesia